Geliat dan Gejolak Sastra di Banyumas

(Bayu Suta Wardianto, Kordinator Divisi Sastra Lembaga Kajian Nusantara Raya)

Banyumas merupakan daerah dari lereng selatan penyangga kokohnya gunung Slamet. Di desa-desanya yang teduh dan selalu diberikan suara nyanyian kicau burung, tumbuh beragam budaya dan tradisi, baik berbentuk gerakan, lisan, ataupun tradisi berupa menulis atau tulisan. Di tanah ngapak yang kental dengan humor dan kesahajaan ini, kata-kata tak sekadar diucapkan. Mereka tumbuh, menyebar, dan terkadang meledak menjadi karya. Banyumas, yang dikenal lewat logatnya yang blakblakan, ternyata juga menyimpan denyut sastra yang tak pernah benar-benar tidur. Di sela gemuruh pasar tradisional, di antara tembang kentongan yang mengalun dari surau, puisi, cerpen, dan naskah drama menemukan jalannya. Ada yang lahir di teras-teras kecil rumah baca, ada pula yang disemai di ruang diskusi komunitas yang ditemani kopi hitam dan obrolan panjang hingga dini hari, atau yang lahir dari ruang-ruang intelektual di perguruan tinggi yang kokoh akan konsep masa depan gemilang.

Beragam karya sastra lahir dari kota yang banyak dijuluki oleh wisatawan khususnya jabodetabek sebagai kota khas pensiunan, karena kehidupan slow living dan kesederhanaan kotanya. Dari serta, babad hingga karya kontemporer ada di Banyumas. Karya-karya itu lahir bukan tanpa sebab. Serta hingga babad misalnya, lahir sebagai arsip abadi dokumentasi yang ada sebagai pengingat bahwa kehidupan sekarang ada karena kehidupan masa lampau. Kemudian karya-karya sastra kontemporer yang berbicara tentang realitas sosial orang-orang terpinggirkan, yang digawangi oleh sastrawan Banyumas yang mendunia, Ahmad Tohari. Dari karya-karyanya tersebut kemudian lahir Sarjana—Doktor karena kajian-kajian karyanya.

Karya sastra modern di Banyumas dipelopori oleh Ahmad Tohari dengan beragam karyanya yang mengangkat kehidupan desa dan kultur masyarakat penginyongan yang egaliter dan suka berbicara apa adanya. Kepeloporan Ahmad Tohari dalam membawa budaya Banyumasan pada karya sastra yang ditulisnya membuat budaya Banyumasan menjadi abadi dalam pendokumentasian karya yang bisa juga disebut sebagai landscape kesejarahan sastra di Banyumas.

Selanjutnya, di era 2000—2010’an muncul banyak penulis sastra di Banyumas, mulai dari Wanto Tirta yang kini dikenal sebagai Presiden Geguritan, Edi Romadhon, Jarot C. Setyoko, Hamidin Krazan, Teguh Trianton, hingga Heru Kurniawan serta nama-nama lain yang banyak jumlahnya. Nama-nama tersebut memang ada yang berasal dari Banyumas asli, dalam artian penulis tersebut lahir dan berkembangan dalam bidang kepenulisan di Banyumas seperti Wanto Tirta. Banyak juga penulis-penulis yang berasal dari kota lain yang kemudian namanya menjadi berkembang menjadi penulis Banyumas seperti Dharmadi, Heru Kurniawan, Teguh Wage, dan sederet nama-nama lainnya.

Kelahiran karya sastra sekaligus sastrawannya merupakan bentuk pertapaan dan laku tirakat yang dijalani, baik sebagai individu yang muncul sendiri, ataupun sastrawan yang muncul di ruang komunitas. Di Banyumas, komunitas-komunitas sastra dan literasi jika diandaikan seperti jamur di musim penghujan, maka akan sangat banyak dan beragam. Komunitas-komunitas ini muncul dan berkembang dengan latar belakang yang mengikutinya. Dari sini, banyak penulis lahir. Baik yang memang asli orang banyumas, ataupun dari luar kota kemudian tinggal di Banyumas.

Pada komunitas sastra di kampus misalnya, SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) yang lahir di STAIN Purwokerto, kini UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Komunitas yang digawangi oleh Abdul Wachid B.S. ini turut melahirkan penulis-penulis muda seperti Dimas Indianto, Yanwi Mudrikah, Dewandaru Ibrahim Senjahaji, Efen Nurfiana, Fajrul Alam, dan lainnya. Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, muncul Komunitas Penyair Institut (KPI) yang kemudian melahirkan penulis seperti Teguh Trianton, Arif Hidayat, Eri Setiawan, Achmad Sultoni, Aditya Setiawan, dan lainnya. Di kampus, selain berkutat pada teks berupa karya sastra yang ditulis, terdapat juga komunitas yang memiliki basis pada sastra pertunjukkan, seperti Teater Perisai (UMP) yang melahirkan aktor seperti Yoga Wicaksana yang kemarin (3/8/2025) sukses mementaskan Sastra Sulap Puitik saat peraayaan W.S. Rendra, kemudian juga muncul grup lawak Banyumasan ‘Disis’ yang dipunggawai oleh Abdul Najih, Dwi Ateng, Didit Chow, dan lainnya. Di UIN Saizu, juga memunculkan aktor yang di kemudian hari aktif dalam perpantomimeman di Banyumas seperti Fahmi (Mlinjo) dan Rohmat (Pawon).

Selain berkutat pada lingkup kampus, banyak juga komunitas-komunitas sastra yang dimulai dari rumah baca seperti Rumah Kreatif Wadas Kelir asuhan Heru Kurniawan yang banyak melahirkan penulis karya sastra anak seperti Endah Kusumaningrum, Umi Khomsiyatun, Titi Anisatul Laely, dan lainnya. Komunitas di luar kampus yang juga memiliki peran penting dalam seni sastra pertunjukkan yaitu, Padepokan Kie Bae yang digawangi oleh Syaikhul Ifran (Gus I’ang).

Kini, komunitas-komunitas baru yang digawangi oleh teman-teman gen Z mulai bermunculkan dan menambah warna aktivitas sastra di Banyumas. Sebutlah ada acara seperti Bilfest yang menjadi festival sastra yang cukup menyita perhatian publik di Banyumas Raya karena berhasil mengundang dan mengadakan diskusi sastra dengan narasumber sastrawan terkemuka, seperti Ahmad Tohari, Leila S. Chudori, Mahfud Ikhwan, Nisa Rengganis, dan lainnya.

Komunitas-komunitas tersebut merupakan bentuk keberagaman berkekspresi dalam sastra yang terus bergeliat di Banyumas. Namun, seperti aliran Sungai Serayu yang kadang tenang, kadang menghantam deras, dunia sastra di Banyumas juga bergerak dalam irama yang tak selalu mulus. Di satu sisi, ada kompetisi yang memacu semangat; di sisi lain, ada kontestasi yang memicu bara. Komunitas dan organisasi literasi kerap beradu visi, saling mengukur langkah, dan tak jarang terjebak dalam ego kolektif. Gesekan ini bukan hanya cerita bisik-bisik di sudut acara, tetapi kadang menjelma menjadi jarak yang nyata. Meski begitu, di balik riak-riak itu, selalu ada harapan yang menyala. Menjadi bukti bahwasanya setiap persaingan dapat berujung pada karya yang lebih matang.

Jika dalam perkembangan sastra (berbicara sastra koran) di Banyumas pra-Covid-19. Kemunculan-kemunculan penulis sastra tersebut terdokumentasi dalam rubrik atau kolom Bandrong Kulon di Radar Banyumas yang digawangi oleh Jarot C. Setyoko dan kawan-kawan. Dari kolom sastra di koran ini kemudian di setiap tahunnya, lahir antologi sastra bertajuk ‘Kembang Glepang’ yang berhasil sampai pada jilid 4. Pasca pandemi, kolom tersebut kini tinggal kenangan. Pasca hilangnya kolom Bandrong Kulon, pergerakan karya sastra di Banyumas menjadi bias dan agak sulit untuk mencari tahu seberapa banyak karya sastra berkualitas yang lahir atau seberapa banyak penulis muda yang memulai debutnya.

Di antara pertumbuhan dan persaingan antarkomunitas sastra di Banyumas yang ‘adem’ tapi nyatanya ‘agak panas’ juga, pegnggiat sastra di Banyumas juga punya ruang kolaborasi yang menghangatkan. Ada momen ketika penyair, penulis prosa, hingga pegiat teater duduk satu meja, merangkai ide dalam sebuah acara sastra. Titik temu ini menjadikan geliat dan gejolak itu terus berdenyut, menunggu arah yang akan diambil. Dari geliat dan gejolak inilah, maka tulisan ini memberikan sebuah konsepsi tentang kompetisi, kontestasi, dan kolaborasi yang dapat dilakukan untuk menjadikan Banyumas sebagai ‘Kota Sastra’.

Kompetisi di dunia sastra Banyumas bukan sekadar adu karya, tetapi juga adu keberanian untuk tampil di ruang publik. Lomba penulisan hingga pembacaan puisi, sayembara cerpen antar individu—komunitas, hingga festival teater pelajar menjadi ajang para penulis muda menguji diri. Di sini, kemenangan bukan hanya soal piala, tetapi pengakuan dari sesama pelaku sastra. Kompetisi yang sehat memacu kualitas karya, membuat penulis lebih berani mencoba bentuk baru, dan membuka pintu bagi nama-nama segar. Namun, seperti pertandingan sepak bola di lapangan kampung, semangat kompetisi kadang memanas hingga meninggalkan sedikit gesekan sampai persoalan yang wajar jika diarahkan dengan bijak.

Sementara itu, Kontestasi menghadirkan dinamika yang lebih rumit. Ia tak selalu hadir di panggung lomba, tetapi juga di balik layar seperti perbedaan visi antar komunitas, cara pandang terhadap sastra, hingga klaim siapa yang “lebih berkontribusi” pada ekosistem literasi Banyumas. Ada organisasi yang fokus pada karya cetak, sementara yang lain lebih menekankan pertunjukan. Kontestasi ini, jika tak diolah, berpotensi menumbuhkan jarak dan sekat. Namun, sesungguhnya ia bisa menjadi bahan bakar untuk memperluas cakrawala dan mendorong lahirnya ragam pendekatan sastra yang memperkaya warna Banyumas.

Di tengah riak persaingan itu, Kolaborasi menjadi jembatan yang mempertemukan berbagai pihak. Adanya festival-festival yang mengangkat sastra, misalnya, tak akan menjadi meriah tanpa adanya kerja sama antarkomunitas, seniman lintas bidang, dan dukungan publik. Begitu pula panggung-panggung terbuka di kafe atau rumah baca yang mengundang penulis dari luar daerah dapat membuka pertemuan lintas generasi dan lintas gaya. Kolaborasi ini menciptakan rasa memiliki yang lebih luas. Karya bukan hanya milik individu atau komunitas tertentu, tetapi milik bersama yang dirayakan dengan antusiasme.

Ketiga elemen ini —Kompetisi, Kontestasi, dan Kolaborasi— adalah denyut yang menghidupkan sastra Banyumas. Mereka seperti tiga aliran yang saling berkelindan. Kompetisi menguji ketangguhan. Kontestasi memicu perdebatan. Kolaborasi menyatukan. Jika seimbang, mereka bisa menjadi ekosistem kreatif yang subur, tempat kata-kata menemukan maknanya dan penulis menemukan rumahnya. Tantangan terbesar adalah memastikan setiap aliran itu mengalir pada arah yang sama, yaitu menghidupkan, bukan menggerus.

Banyumas, dengan segala dialek, candaan, dan kearifannya, sedang menulis bab-bab penting dalam buku panjang sastra Indonesia. Geliatnya terasa di setiap panggung kecil, di setiap halaman antologi yang terbit, di setiap percakapan larut malam para penulisnya. Gejolaknya pun nyata, kadang memanas, kadang mereda, tetapi justru di situlah denyut kehidupan itu berdiam.

Kompetisi mengasah keberanian, kontestasi menguji kematangan, dan kolaborasi merajut kebersamaan. Tiga hal ini ibarat tiga nada yang, jika dimainkan seirama, akan menciptakan harmoni yang menggetarkan. Banyumas tidak butuh satu pihak yang menguasai seluruh panggung, namun butuh panggung yang cukup luas untuk semua suara, cukup kuat untuk semua dialek, dan cukup hangat untuk semua perbedaan.

Banyumas bukan sekadar penonton dalam peta sastra nasional, ia adalah pemain yang punya warna, logat, dan gaya sendiri. Tantangannya bukan hanya menciptakan karya, tetapi menjaga ruang yang sehat bagi kompetisi, memberi makna pada kontestasi, dan memperluas peluang kolaborasi. Karena pada akhirnya, sastra bukan sekadar tentang siapa yang paling bersinar, tetapi tentang bagaimana cahaya itu bisa menerangi lebih banyak wajah, dari orang-orang yang bergiat di dalamnya.

Sastra Banyumas bukan sekadar karya yang lahir dari pena atau panggung, melainkan juga cermin dari bagaimana masyarakatnya memandang kata dan makna. Selama ada ruang untuk berbagi cerita, saling mengkritik dengan tulus, dan merayakan keberhasilan bersama, geliat itu akan terus hidup, dan gejolak itu akan selalu menemukan bentuknya yang indah. Karena pada akhirnya, sastra Banyumas adalah tentang kita, tentang bagaimana kita menjaga agar kata tidak sekadar diucapkan, tetapi juga dihidupi. Tentang bagaimana setiap penulis, pembaca, dan penonton menjadi bagian dari narasi yang lebih besar. Narasi yang, suatu hari nanti, akan kita kenang sebagai masa di mana sastra Banyumas benar-benar berdiri tegak, dengan suara yang lantang dan hati yang lapang.

 

Tentang Penulis

Bayu Suta Wardianto, lahir di Tegal 18 Maret 1998. Pernah mernjadi relawan literasi di Motor Literasi (Banten), Rumah Kreatif Wadas Kelir (Purwokerto). Menamatkan pendidikan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan Prodi yang sama. Bergiat di Lembaga Kajian Nusantara Raya sebagai Kordinator Divisi Sastra. Menjadi Direktur pada laman publikasi Logawa.id. Kini bekerja sebagai Dosen Tamu di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto dan Universitas Amikom Purwokerto.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *