Puisi yang Indah Tidak Lahir dari Buku Panduan

Oleh: Tania Rahayu, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

 

Kata yang Tidak Bisa Diajar Seperti Rumus

Banyak orang berpikir bahwa menulis puisi adalah soal teknik: bagaimana menyusun rima, memilih majas, atau merangkai metafora saja. Padahal, puisi yang hanya lahir dari teknik bisa jadi justru akan kehilangan jiwa. Kata-kata memang bisa dipelajari dari buku panduan, tetapi rasa tidak bisa. Rasa hanya tumbuh dari kehidupan itu sendiri.

Penyair besar tidak pernah benar-benar dibentuk oleh teori semata. Mereka dibentuk oleh jalan yang mereka tempuh, oleh pengalaman yang menampar hati, dan oleh kesediaan untuk membaca kehidupan secara jujur. Karena itu, puisi yang indah sejatinya tidak hanya lahir dari ruang kelas atau buku panduan, melainkan dari perjalanan batin seorang manusia.

 

Penyair Lahir dari Perjalanan

Setiap langkah manusia menyimpan cerita. Dari perjalanan yang jauh maupun dari rutinitas sehari-hari, penyair merekam detail-detail kecil yang kemudian menjadi sumber kata. Baik dari perjalanan suka, duka dan luka perjalanan diri sendiri atau tempat-tempat yang disinggahi. Di stasiun kereta, di lorong pasar, di desa yang sunyi, atau di jalan raya yang riuh, penyair menemukan denyut kehidupan yang tidak tertulis di buku manapun.

Penyair yang melakukan perjalanan tidak hanya memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain, melainkan juga membuka mata dan telinga. Ia belajar dari kerikil jalanan, dari hujan yang tiba-tiba turun, dari wajah asing yang tiba-tiba tersenyum. Semua itu menjadi bahan baku puisi yang lebih bernyawa ketimbang seribu teori sastra.

Perjalanan menjadikan puisi tidak sekadar keindahan kata, tetapi juga catatan eksistensi. Dengan perjalanan, penyair memahami bahwa hidup adalah puisi itu sendiri. Penuh kejutan, penuh luka, sekaligus penuh keajaiban.

 

Refleksi Perjalanan Lahir dari Pertemuan

Namun perjalanan tidak pernah berdiri sendiri. Ia menjadi bermakna karena adanya pertemuan. Tanpa orang-orang yang dijumpai, perjalanan hanyalah perpindahan ruang kosong. Refleksi lahir justru dari interaksi: dari percakapan singkat dengan seorang guru, atau dari cerita seorang sahabat di malam hari, dari seorang pedagang kaki lima di pinggir jalan, atau dari tatapan anak kecil yang polos namun menyimpan pelajaran.

Pertemuan membuat penyair keluar dari cangkang egonya. Ia belajar melihat kehidupan dari kacamata orang lain, merasakan kesedihan dan kegembiraan orang lain. Dari sinilah muncul refleksi: bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang “kita”. Bahwa ada banyak hal-hal yang belum diketahui oleh penyair selain setelah bertemu dengan sang guru, saudara, sahabat atau orang asing sekalipun.

Puisi yang lahir dari refleksi pertemuan biasanya lebih hangat dan lebih dalam. Ia bukan sekadar curahan hati pribadi, tetapi gema bersama yang bisa menyentuh banyak orang.

 

Pertemuan Bermakna Lahir dari Ilmu dan Etika Kehidupan

Meski begitu, tidak semua pertemuan otomatis mengubah diri. Pertemuan baru menjadi bermakna ketika disertai ilmu dan etika. Ilmu membuka pandangan, memperluas cakrawala, dan memberi kerangka berpikir. Tanpa ilmu, pengalaman bisa lewat begitu saja tanpa menjadi pelajaran.

Etika kehidupan, di sisi lain, menjaga agar refleksi tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia mengajarkan kejujuran, empati, dan kerendahan hati. Dengan etika, seorang penyair tidak jatuh pada eksploitasi kisah orang lain demi sekadar karya, tetapi menuliskan sesuatu dengan hormat, dengan kasih, dengan rasa tanggung jawab.

Kombinasi ilmu dan etika menjadikan setiap pertemuan sebuah cermin yang jernih. Dari sanalah lahir puisi-puisi yang tidak hanya indah secara bahasa, tetapi juga mendalam secara makna. Maka seorang penyair tidak hanya cukup melewati petualangan di jalan atau hutan saja. Petualangan dalam pendidikan, pekerjaan, peribadahan dan kegiatan sosial sehari-hari juga amat penting untuk penyair.

 

Puisi Sebagai Jejak Kehidupan

Pada akhirnya, puisi yang indah tidak akan lahir dari sekadar hafalan rumus sastra. Ia lahir dari perjalanan yang sungguh-sungguh, dari pertemuan yang jujur, serta dari ilmu dan etika yang memberi arah.

Menjadi penyair berarti berani menjalani hidup dengan penuh perhatian. Setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi menjadi penyair, sejauh ia mau membuka hati pada pengalaman sehari-hari. Menulis puisi bukan perkara menunggu inspirasi, tetapi keberanian untuk menyapa hidup, merasakan denyutnya, lalu menuangkannya dalam kata.

Puisi adalah jejak kehidupan. Dan selama manusia terus berjalan, bertemu, belajar, serta menjaga etika dalam hidupnya, puisi tidak akan pernah mati. Ia akan terus hadir, menyapa generasi demi generasi, sebagai pengingat bahwa kata tidak pernah lebih besar daripada kehidupan itu sendiri.

 

 

 

 

 

Tania Rahayu

 Lahir di Purbalingga pada 30 Juni 2021. Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Beraktivitas sebagai pembaca dan penulis puisi.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *