Refleksi Kesadaran dalam Menulis

Hal paling mendasar ketika seorang manusia melakukan kegiatan ‘menulis’ adalah kesadaran. Kesadaran membuat seorang menusia merefleksikan dirinya, memantulkan, memantaskan, meresapi, dan mempelajari apa yang terjadi pada realitas sosial di sekitarnya. Refleksi adalah cara manusia mengingat kembali kemanusiaannya. Masih bekerja kah nurani kita? Atau masih di jalan manusia kah kita sebagai ‘pengindera realitas sosial’. Dalam hal ini, refleksi membuat kita sebagai insan yang berpikir untuk melakukan ‘pengoreksian’ dalam diri. Pertanyaan-pertanyaan sudahkah kita, perlukah kita, siapakah kita, atau apakah kita akan terjawab dalam sekian menit— jam ketika refleksi diri kita lakukan sebelum memulai menulis hal-hal yang berkaitan dengan manusia.

Ketika merefleksikan sebuah hal, kita mesti meresapi apa yang ada dan apa yang tidak ada dalam penginderaan kita. Misalnya, anda akan menuliskan ‘Dampak Makan Siang Gratis” sebuah isu yang sangat kompleks untuk dijadikan sebuah tulisan. Ketika mulai merefleksikan MGB, hal yang paling mendasar yang kita lakukan adalah menaruh kesadaran kita pada objek yang akan ditulis. Point of view (PoV) atau sudut pandang mengenai ini sangat luas dan beragam. Kesadaran kita untuk menulis hal ini adalah sebuah pertanyaan “di posisi mana kita menempat diri?”. Bagi pengkritik, mereka akan mencari seribu jalan untuk ‘memojokkan’ MBG sebagai kebijakan yang keliru. Para pemujanya juga tak kalah sengit, mereka akan memuji produk ini sebagai ‘berhala hidup’ yang patut disembah.

Posisi paling aman bagi seorang penulis adalah berdiri dan memantau di tengah-tengah. Setiap kritikan yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk membuka dan memberikan pandangan yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat. Setiap pujian juga berupaya untuk mengedepankan nilai positif yang telah dilakukan program, bukan orangnya. Penulis harus memantau kedua posisi ini. Ia harus tajam, karena sebagai penulis harus memiliki pengamatan yang baik dan menuangkannya ke dalam kertas yang terhampar di hadapannya. Selain itu, penulis juga memiliki ‘kebijaksanaan moral’ yang harus menyampaikan kebenaran kepada khalayak.

Refleksi dan kesadaran ini perlu dilatih. Jika Pram bilang keberanian itu seperti otot, maka refleksi dan kesadaran bisa saya katakana seperti pernapasan (olah napas), perlu dilatih bersama dengan keberanian. Cara terbaik adalah dengan memosisikan dan mempersepsikan kita sebagai subjek yang harus ada dalam pusara dunia. Misalnya terdapat kondisi yang melekat pada kita seperti yang terdapat pada kata ‘ada’ dan ‘keberadaan’. ‘Ada’ sebagai contoh, mahasiswa masuk kelas mata kuliah filsafat. Ia baru dikatakan ‘ada’ apabila hanya fisik dan bukti nyata kalau ia memang berada di kelas itu. Bukti nyata dari ada selalu berkaitan dengan fisik, berkaitan dengan benda, dan mewujud dalam bentuk yang nyata, bisa terlihat oleh daya penginderaan kita. Hal-hal tersebut hanya dikatakan sebagai ‘ada’. Kemudian, kata ‘keberadaan’ mengacu kepada setiap yang ‘ada’ namun memiliki apa yang disebut sebagai ‘resonansi’. Ketika mahasiswa ‘ada’ di dalam kelas yang sedang belajar filsafat, maka seharusnya mahasiswa tersebut menunjukkan ‘keberadaannya’ bisa dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kepada dosen dan teman-temannya, ‘keberadaannya’ dapat dirasakan dari diskusi, serta hal-hal lain yang tidak hanya dapat dibuktikan oleh penginderaan, tetapi juga menyebabkan latihan ringan di pikiran.

Proses dari contoh ‘ada’ dan ‘keberadaan’ ini menjadi semacam latihan untuk melatih refleksi dan kesadaran. Dalam menulis, kita tidak hanya menuangkan gagasan, tidak hanya menginformasikan apa yang kita ketahui, atau tidak hanya melemparkan konsep dari sebuah problematika yang coba diberikan alternatif penyelesaiannya. Hal esensial yang harus muncul ketika orang lain membaca tulisan kita adalah munculnya informasi, edukasi, persuasi dari apa yang kita tulis. Bahkan jika dalam jam terbang dan keliahaian seorang menulis, muncul juga ideologi penulis yang tanpa kita sadari diceritakan begitu saja melalui tulisannya.

Keempat aspek tulisan tersebut –informasi, eduakasi, persuasi, ideologi– perlu dilatih, cara terbaik dalam melatihnya adalah melalui refleksi dan kesadaran. Sayangnya, sebagai penulis kadang kita terlalu sombong untuk mengatakan bahwa tulisan yang kita buat itu ‘jelek’. Bahkan banyak mahasiswa yang saya ajar, dengan beraninya menulis esai tanpa membaca esai terlebih dahulu. Kesombongan-kesombongan ini yang sebetulnya membuat tulisan kita rasa-rasanya tidak ‘bunyi’. Kesombongan ini juga yang menyebabkan tulisan kita tidak berlandaskan atas refleksi dan kesadaran yang mestinya dibangun dulu.

Akhirnya, cara membangun kesadaran terbaik adalah dengan membaca dan cara membangun refleksi yang baik adalah mengamati realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kedua cara ini merupakan upaya untuk membangun refleksi dan kesadaran bagi diri kita sebelum mulai menuangkan konsep, melempar gagasan, mengkritik suatu hal, mengajukan alternatif solusi, bahkan mengarang (menulis fiksi).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *