Pusara Konflik: Resistensi, Psikologi, dan Ekologi dalam Novel Sumi Karya Jazuli Imam

(Oleh: Bayu Suta Wardianto, Mengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto dan Universitas Amikom Purwokerto)

 

Sumi, sebuah novel dengan judul yang singkat namun berisi cerita dan konflik yang kompleks dan padat. Bagi yang belum membacanya, Sumi pasti akan diterka dengan sebuah tokoh perempuan. Setelah halaman demi halaman terbaca, akhirnya Sumi diketahui adalah nama panjang dari sebuah tokoh utama yang ada pada novel ini dan ia merupakan seorang laki-laki. Sumi digambarkan sebagai seorang yang prestatif akademik, besar dalam keluarga taat beragama, dan diterima sebagai pekerja di sebuah perusahaan asuransi terbesar kedua di Asia adalah kenikmatan yang menjelma tegangan dalam diri Sumi.

 

Resistensi

Apa yang sudah dijalankan oleh Sumi adalah sebuah standar-standar hidup enak bagi kebanyakan orang. Tinggal di kota, dan bekerja di sebuah kantor yang nyaman dan bonefit. Keinginan Sumi dan norma paksaan yang dominan, serupa jembatan putus yang membuat pemuda itu harus diam dan mengalah. Perlawanan akhirnya pecah, ketika Sumi dengan cat semprot hitam mencoret jargon kantor asuransi tempatnya bekerja “Certainty & Security for Your Life,” Sumi tuliskan ulang di dinding palet; “Life is Adventure, or Nothing.”

Setahun berlalu sejak kejadian itu, ribuan kilo sudah Sumi berjalan keluar. Alih-alih menemukan kedamaian yang didambakan, yang terjadi; di Jakarta, di kota, desa, dan mana-mana, semua orang sama sakitnya. Memilih pulang pada puisi dan tergantungnya Sumi dengan antidepresan, seolah mempersempit ruang Sumi untuk bertahan hidup. Selanjutnya, Sumi menjelaskan secara tersirat bahwa ‘pulang’ adalah tujuan dari semua pejalan.

Dasar persoalan pada Sumi ini adalah tentang perjalanan yang merawat ingatan dan kepekaan terdahap segala yang ada di bumi. Sumi mengajak kita berperjalanan di antara hiruk pikuk kebudayaan kota, kebeanran atas norma agama, dan juga kemerdekaan individu. Sebuah garis besar permasalahan yang ada yaitu: “Semua orang punya sakit.” Bahwa setiap yang bersedia menjadi penghuni bumi ini pasti memiliki bangunan luka yang membentuk motivasinya menghadapi masa depan yang ada.

Sumi di sini bukan hanya sekadar novel biasa yang menceritakan perjalanan tanpa realita yang nyata. Pada bagian yang menceritakan tentang bertahan hidup, bentang alam kacau karena perusahaan sawit, tumbuhan dan satwa endemik, rasisme sosial, sangat empirik dan deskriptif. Sebua pengalaman yang dikais dari dunia nyata. Pengalaman-pengalaman yang diparafrasekan dengan tepat, menjadikan pembaca  seolah ikut hanyut dalam setiap cerita-ceritanya. Di samping membangun pengisahan yang deksriptif, terselip nilai tasaufi yang tergambar dari beberapa cara, salah satunya menyikapi makhluk hidup selain manusia.

 

Psikologi

Pada novel Sumi tokoh-tokoh yang ditemui sangatlah banyak. Untuk Sumi sendiri, sulit mendeksripsikannya mnenjadi sebuah watak sepeti protagonis ataupun antagonis. Sumi sendiri adalah tokoh sentral pada novel ini. Sumi digambarkan sebagai seorang pemuda berusia sekitar 24 tahun yang sedang mencari arti dari sebuah makhluh bernama  manusia melewati perjalanannya menuju Ujung Timur. Sumi bisa disebut sebagai pemuda yang cinta alam dan manusia. Pada bagian Bagian 10, Sumi menerapkan konsep ajaran agama Budha yang disebut dengan Metta atau cinta kasih terhadap makhluk lain selain manusia. Namun  di satu sisi yang lain, pada bagian 1 Sumi menjadi seorang yang melakukan kegiatan merusak (vandalisme) di sebuah kantor asuransi tempatnya dan Ayahnya bekerja. Kondisi Sumi yang depresi membuat karakternya sulit ditebak secara rinci dan pasti.

Dari berbagai tempat yang dijejaki oleh Sumi, ada masing-masing tokoh dan karakteristik tersendiri. Kisah saat masih di Jakarta, tokoh-tokoh yang muncul yaitu Ayah, Ibu, Kakak Anis, dan juga Bangkit. Ayah merupakan tokoh yang keras dan tegas, di awal cerita penulis menggambarkan dengan sebuah kutipan:

 

“Sumi tidak menangis, sebab Ayah tidak menyukai orang yang cengeng. Ayah akan marah jika Sumi menangis, meski Ayah tahu Sumi tidak menyukai orang yang marah (hlm. 1).”

 

Tokoh Ibu digambarkan sebagai perempuan yang sangat nurut dengan suaminya, atau Ayah Sumi. Ibu dan Kakak Anis menjadi tokoh perempuan yang selalu menasehati Sumi ketika melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh anaknya. Sedangkan Bangkit, adalah satu-satunya anak yang menemani Sumi saat anak-anak lain membullynya. Bangkit menemani Sumi belajar memainkan sebuah gitar yang ada di pos ronda.

Setelah cerita Sumi sudah berlatarkan Ujung Timur, banyak tokoh-tokoh baru bermunculan. Di Marlo, Sumi bertemu dengan Bapak Stefan, anak kecil pencuri bernama Klas dan Yos dan juga pendatang dari jawa yang membuka warung makan bernama Mbak Rita. Bapak Stefan memiliki karakter khas orang Ujung Timur, tegas, keras, tapi tidak melupakan sisi humanistiknya. Ia menjadi orang yang menampung Sumi beberapa waktu sebelum melanjutkan perjalanannya lagi menuju Bigel. Klas dan Yos anak kecil yang menggambarkan anak-anak dari Marlo. Masih kecil, suka mencuri, tidak bersekolah, dan suka mabuk lem. Anak-anak itu seakan menceritakan bahwa ketidakedulian orang-orang di sanalah yang menyebabkannya demikian. Sedangkan Mbak Rita adalah seorang pendatang yang sangat benci dengan anak-anak macam Klas dan Yos.

Di perjalanan menuju Bigel, terdapat juga tokoh-tokoh baru. Diantaranya Pak Saldi, Dawwiyah Wesley, Oge. Pak Saldi adalah orang yang menyelamatkan Sumi ketika diseret dari tendanya di hutang orang seorang tentara yang mengiranya adalah seorang pemberontak yang sedang mengintai markas tentara di Distrik itu. Pak Saldi adalah seorang kepala desa yang baik dan menampung Sumi untuk beberapa waktu sebelum Sumi melanjutkan perjalanannya. Wesley dan Oge sepasang kawan yang ternyata jika dianalisis adalah seorang anggota kelompok pemberontak. Namun dibalik itu, Oge dan Wesley adalah ornag-orang baik yang menyelamatkan Sumi dari peristiwa kisruh yang ada di Ujung Timur kala itu. Sedangkan Dawwiyah dan Nina adalah relawan kesehatan yang dikirim kementerian untuk program pengabdian di Ujung Timur. Dawwiyah berwatak halus, baik, dan menyukai puisi. Dawwiyah inilah yang direkontruski oleh penulis sebegai yang nantinya menjadi kekasih Sumi.

 

Ekologi

Sumi memiliki latar Ujung Timur. Ujung Timur yang diceritakan dalam novel ini dapat kita terka sebagai Papua karena narasi-narasi dalam novel ini menggambarkan suku-suku tradisional, keindahan alam berupa hutan dan kekayaan satwa, serta kondisi geografis yang pembaca dapat dengan mudah menebak lokasi bahwa latar dalam novel tersebut adalah Papua.

Peristiwa seperti eksploitasi hutan berupa alih fungsi menjadi lahan sawit dan deforestasi yang dilakukan di Ujung Timur ini menjadi fokus utama cerita yang terjadi pada tokoh Sumi. Selain itu, diceritakan pula kisah keluarganya yang menjadi penyebab Sumi pergi dari rumah dan meninggalkan pekerjaannya di kantor asuransi. Sumi menyimpan unsur-unsur yang kompleks, seperto peristiwa rasisme yang terjadi di Indonesia (mengutip kejadian rasisme terhadap Papua di Jawa).

Selain konflik batin dan rasisme yang diceritakan dalam novel Sumi, Jazuli Imam juga menjelaskan dengan narasi yang apik tentang kerusakan hutan yang terjadi di Ujung Timur dan juga nilai religius agama Buddha yang disampaikan oleh tokoh Meta, seorang tokoh yang ditemui Sumi ketika Meta sedang melakukan touring dengan rombongan vespanya.

”Deforestasi besar-besaran sedang dilakukan dan akan terus terjadi di hutan Ujung Timur, yang terbesar adalah yang berada di hutan Jantung Timur. Perusahaan kayu dan perkebunan sawit adalah dua hal utama di balik itu semua selain pembukaan sawah padi.” (hlm. 161)

Kutipan tersebut mendeksripsikan tentang terjadinya deforestasi besar-besaran yang  sedang  dan  akan  terus  dilakukanterjadi  di  hutan  Ujung  Timur  dengan  yang terbesar  diwilayah  hutan  Jantung  Timur.  Penggambarkan  deforestasi  besar-besaran tersebut adalah alasan utama dari kutipan awal tadi bagaimana mereka melihat Sumi dan   mencurigainya   sebagai   bagian   dari   korporasi   yangsedang   mereka ‘lawan’ sebagai upayanya menjaga hutan wilayah ujung timur.

“Ular mati, ular itu mati! Daerah ini baru saja dibabat. Kayu-kayu  ini  belum sempat diangkut.” Sumi duduk dan menurunkan tramontinanya (hlm. 176).

Kutipan  tersebut  menggambarkan  bagaimana  terdapatnya  seekor  ular  yang mati  karena  habitatnya  (hutan)  baru  saja  dibabat.  Kondisi  tersebut  menggambarkan bagaimana kondisi hutan yang di wilayah Ujung Timur  yang dijelajahi Sumi terdapat perusakan  hutan  dengan  menebang  pohon-pohon  yangmengakibatkan  hewan  liar yang dicontohnya dengan ular yangmati.Perusakan  hutan  atau deforestasi yang  digambarkan  dalam  novel Sumi karya Jazuli Imam ini menggambarkan bahwa kondisi hutan yang ada di jangkauan nasional sedang tidak baik-baik saja. Penggambaran hutan Ujung Timur ini merupakan bentuk perusakan  hutan  yang  sistematis  yang  dijalankan  oleh  korporasi  besar.  Novel Sumi karya  Jazuli  Imam  ini  coba  menyuarakan  apa  yang  terjadi  pada  hutan-hutan  di Indonesia  yang  dicontohkan  dengan  kondisi  deforestasiyang  terjadi  pada  hutan-hutan  di  Ujung  Timur.Pembabatan  hutan  yang  massif  dilakukan  oleh  korporasi  ini menyebabkan  dampak  buruk  yang  terjadi  bagi  masyarakat  sekitar.  Kematian  satwa liar  dan  banjir  merupakan  beberapa  dampak  buruk  yang  langsung  terlihat  dalam novel Sumi.

 

Pusara Konflik

Pada novel Sumi, banyak sekali konflik yang dapat ditemukan. Konflik yang ada ini beraneka ragam, mulai dari Sumi yang berkonflik dengan dirinya sendiri karena memang Sumi merupakan seorang yang mengalami sindrom putus zat. Namun dari banyaknya konflik tersebut, ada beberapa konflik yang digambarkan sangat singkat dan tidak begitu menarik untuk dianalisis. Di awal cerita sebenarnya sudah terjadi konflik pada novel ini, seperti pada kutipan.

“Sumi, pemuda dalam usia emas itu pada suatu malam tertangkap kamera cctv; melakukan vandalisme di lobby perusahaan asuransi tempatnya bekerja. Sumi naik dan berdiri di atas meja frontline, dengan pylox hitam, ia berikan tanda silang tebal pada logo besar berjargon ‘Certainty & Security for Your Life’ yang dicetak timbul di dinding palet. Sumi tulis di sana; ‘Life is adventure, or nothing’ (hlm. 3).

“Selesai dengan dinding palet, Sumi lempar kaleng pylox dan memecahkan satu dari dua cctv yang tergantung. Sumi turun, meraih carrier kapasitas tanggung yang ia sandarkan di meja, lalu menghilang bak ditelan bumi (hlm. 4).”

Pada dua kutipan tersebut, jelas terdapat konflik dalam cerita. Sumi mengalami konflik batin pada dirinya sendiri. Dalam kutipan yang pertama, Sumi yang entah dapat ide dari mana dapat melakukan hal yang sangat di luar bayangan dirinya sendiri ataupun orang terdekat atau keluarganya. Konflik batin yang dialami pada diri Sumi membuat dirinya berani membuat hal yang demikian. Mencoret jargon dan menuliskannya kembali menurut versinya. Padahal di kantor itu juga ia dan bapaknya bekerja. Bapak Sumi merupakan orang lama yang sudah bekerja di situ, walaupun tidak di posisi elit, namun Bapak cukup disegani di kantor itu. Perlakuan Sumi ini yang membuat awal berjalannya kisah perjalanan Sumi menyelami hutan-hutan dan masyakarat Ujung Timur.

Selanjutnya, pada  kutipan kedua setelah Sumi mencoret jargon kantor ia segera mengambil ranselnya kemudian melemparkan 1 kaleng untuk memcahkan cctv. Hal itu dilakukan Sumi atas dasar keinginan yang sudah lama dilakukan. Sumi merasa masa kecil dan remajanya penuh kekangan oleh Bapaknya. Sehingga pada titik di mana Sumi sudah tidak ingin merasa dikekang lagi, maka ia pun melakukan apa yang tidak disangka oleh keluarganya. Mencoret dinding palet, memecahkan cctv, kemudian pergi menuju titik tujuannya yaitu Ujung Timur.

Jika dianalisis dengan teori  psikoanalisis  yang dibangun oleh Sigmund  Freud (id, ego, dan supergo)  munculnya konflik batin terjadi karena adanya pertentangan antara struktur kepribadian id, ego, dan  superego. Id sebagai pemberi dorongan, ego merupakan pikiran rasional, sedangkan superego sebagai pengendali berisi sistem nilai dan norma yang berlaku di kalangan masyarakat.

Konflik batin yang dialami Sumi berdasarkan struktur kepribadian  id, umumnya seperti mendeskripsikan kecemasan neurotik dan objektif.  Kecemasan Sumi tersebut biasanya mengakibatkan perasaan tidak nyaman terhadap suasana lingkungan, terhadap objek-objek yang tidak disenangi, dan terhadap perilaku yang ia sadari. Dalam hal ini kecemasan Sumi sudah sedari kecil mendendap terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya, baik Bapaknya, ataupun juga orang-orang yang memberikan pengaruh pada Sumi saat masih kecil. Ego sebagai pikiran rasional yang dilakukan oleh Sumi adalah ia harus lepas dari depresi yang mengikatnya, sehingga Sumi melakukan sebuah tindakan yang menurut orang-orang adalahn tindakan yang salah. Bentuk ketidakterimaan orang-orang pada tindakan Sumi itulah superegonya,

Selain konflik batin yang dialami Sumi pada awal cerita di novel ada juga konflik yang lainnya. Seperti konflik sosial yang terjadi apda masyarakat. Misalnya pada bagian 13 (Bab Nasib).

“Perlahan demi perlahan keadaan semakin panas. Beberapa masalah yang pernah terjadi antara warga lokal dan pendatang Timur diungkit kembali, diakumulasi sedemikian rupa, hingga akhirnya dijadikan bahan untuk memproduksi kalimat rasis dan provokatif yang mulai lelompatan daru satu mulut ke mulut yang lain (hlm. 189).”

Pada kutipan tersebut, menggambaran bagaiamana proses terjadinya diskriminasi yang korbannya adalah orang-orang timur. Konflik sosial yang terjadi pada novel Sumi ini seakan menggambarkan peristiwa yang peristiwa rasialisme pada mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019.

Pada Bab 13 novel Sumi, proses terjadinya konflik bermula dari kesalah pamahan orang pemilik kontrakan terhadap penyewa kost yang ternyata adalah mahasiswa dari Ujung Timur. Pemilik kontrakan yang tidak mau akhirnya berbuntut panjang dan menjadi awal mula konflik sosial yang terjadi.

Anak dari pemilik kontrakan yang juga merupakan anggota dari sebuah ormas yang memiliki massa besar akhrinya langsung mengeroyok mahasiswa Ujung Timur itu. Merasa tidak terima akhirnya mereka pun memanggil kawan-kawannya yang ada di asrama khusus mahasiswa Ujung Timur, akhirnya keributan tak bisa terhindarkan. Konflik tersebut seakan menjadi sumber dari pantikan-pantikan konflik sosial di tempat lainnya.

“Televisi dan radio ramai memberitakan berita buruk tersebut. Stigma perusuh dan subversif bagi pemuda Ujung Timur bersilarat di media. Satu hari setelahnya, kabar serupa ramai tersiar; sebuah asrama mahasiswa Ujung Timur di Yogyakarta digeruduk ormas yang sama. Entah apa relasinya, yang pasti, di Jakarta dan di Yogya, seragam khas ormas terbesar kedua di negara itu adalah barisan paling dominan yang melakukan sweeping ke asrama, rumah kontrakan, kos-kosan, dan semua tempat yang disinyalir menjadi tempat tinggal orang-orang timur (hlm. 190).”

Kutipan tersebut merupakan sambungan pada konflik sebelumnya. Konflik rasialisme yang digambarkan oleh penulis dalam nove ini merupakan konflik yang seperti diangkat dari kehidupan yang sebenarnya. Pada tahun lalu tepatnya pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-74 di mana sebuah peristiwa yang mencoreng persatuan apalagi dalam hari besar nasional peringatan kemerdekaan. Sebuah asrama mahasiswa Papua di Surabaya diguruk oleh ormas. Akibat kejadian itu, di berbagai kota muncul juga penggerudukan-penggerudukan yang sama contohnya di Malang. Akibat hal tersebut, orang-orang di Papua yang juga terdapat perantau merasa tersakiti ketika saudaranya yang sedang di Jawa diberlakukan demikian. Akibatnya pecahlah konflik rasial juga di berbagai tempat di Papua, seperti di Wamena dan Jayapura.

Konflik rasialisme tersebut diceritakan secara jelas dalam novel Sumi. Pada bagian-bagian di novel, Bapak Sumi juga turut menyelamatkan pemuda Ujung Timur dan beliau bawa ke rumahnya. Di Ujung Timur, Sumi masih dalam perjalanan pada sebuah mobil pick up yang mengangkutnya menuju Marlo.

 

Penutup

Sumi telah dituliskan dengan sangat baik oleh penulisnya. Jazuli Imam dalam Sumi memantulka bunyi tulisannya menjadi premis-premis yang dialektis, meninggalkan jejak dalam benak yang akhirnya merajut pemahaman yang tidak menggenerelisasi. Pembaca akan menemukan gelora yang berapi-api tentang perlawan dan kenyataan yang ada di setiap tempat dan lingkup sosial yang diceritakan. Sumi memaksa pembaca untuk terus berarung jeram dalam setiap aliran air sungai yang deras penuh bebatuan yang membuat penasaran ujung aliran sungai tersebut akan nampak seperti apa.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *