Humanisme sebagai Dimensi Universal Dalam Kumpulan Sajak Pada Suatu Musim Karya Bayu Suta Wardiyanto[1] Oleh Teguh Trianton[2]
Puisi dan karya sastra pada umumnya merupakan bentuk lain dari suatu objek; baik yang material maupun immaterial yang diwujudkan dengan menggunakan estetika bahasa. Puisi acap kali menjadikan manusia, benda-benda, tempat-tempat dan lain sebagainya sebagai objek material. Puisi juga memosisikan segala peristiwa, gagasan, pandangan hidup, ideologi, perasaan, atau pengalaman hidup penyair dan orang-orang di sekitar penyair menjadi objek imaterial.
Puisi adalah ekspresi subyektif penyair. Namun, puisi seringkali dapat mewakili tema kolektif dari totalitas sosial dan budaya masyarakat. Sebagai ekspresi subjektif, puisi dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemikiran, gagasan atau percakapan, perbedaan sudut pandang atau pendapat, pengalaman hidup dan perasaan penyair tentang berbagai hal. Sebagai ekspresi kolektif, puisi dapat digunakan untuk mengidentifikasi baik lanskap material maupun lanskap kultural yang melingkupi wilayah tempat tinggal atau persinggahan sang penyair.
Puisi adalah perwujudan verbal yang estetik (indah) dari berbagai objek. Puisi juga merupakan salah satu wujud tindak komunikasi yang elok antara penyair dan pembaca (audien). Dalam konteks ini, penyair bertindak sebagai komunikator, sedangkan pembaca menduduki posisi sebagai komunikan. Dalam tindak komunikasi; jika puisi berisi wacana, maka pembaca selaku audien mesti membongkar lapisan-lapisan struktur puisi untuk dapat memahami isi wacana tersebut. Jika puisi merepresentasikan objek faktual, maka komunikan dapat melakukan verifikasi dengan cara pembacaan interteks, dengan berbagai teks lain di luar puisi yang masih relevan.
Dimensi Universal Puisi
Puisi merupakan salah satu karya seni yang mendayagunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa adalah sistem tanda pertama yang menjadi anasir dalam struktur bangunan puisi. Namun bahasa sebagai kode tidak akan beroperasi dengan baik dalam puisi jika tidak dipadukan dengan kode atau sistem tanda budaya. Dua elemen ini kemudian dikonvensikan menjadi sistem kode sastra.
Meskipun puisi merupakan bentuk ekspresi yang subjektif, namun puisi selalu mengandung dimensi universal. Universalitas merujuk pada sifat atau karakteristik yang bersifat umum dan dapat diterapkan pada banyak hal, kebudayaan, atau manusia secara keseluruhan. Puisi sering kali ditulis oleh penyair sebagai upaya mengetengahkan persoalan-persoalan universal dalam perspektif yang subjektif.
Penyair selalu berusaha membahasakan ulang universalitas baik melalui tema, nilai, atau makna yang tersirat, yang dapat diterapkan pada banyak orang dari berbagai latar belakang dan budaya. Universalitas dalam puisi dapat membantu menciptakan pemahaman dan koneksi yang lebih besar antara berbagai kelompok atau masyarakat, serta membantu mengatasi perbedaan atau kesenjangan yang mungkin ada.
Puisi adalah karya yang unik dan khas, tetapi puisi selalu ditulis dan dihadirkan dengan melibatkan anasir kemanusiaan baik dalam kesadaran relasi horisontal maupun maupun dimensi vertikal. Selalu ada pelibatan perasaan pada setiap ungkapan. Inilah yang saya maksud dimensi universal dalam puisi. Penyair, di mana pun ia tinggal, pada lanskap kultur apapun, selalu menyuarakan gagasan mengenai dua dimensi yaitu; kemanusiaan dan ketuhanan.
Humanisme dalam Puisi
Kemanusiaan merujuk pada sifat atau karakteristik yang khas manusia, seperti kepekaan, empati, dan kasih sayang. Puisi seringkali mengeksplorasi sifat-sifat kemanusiaan ini, yang dapat membantu menyentuh hati dan pikiran pembaca atau pendengar. Gagasan tentang kemanusiaan dilatari oleh filsafat humanisme. Gagasan inilah yang selalu ditulis oleh penyair dalam sajak-sajaknya.
Humanisme adalah pandangan dunia yang menempatkan manusia sebagai subjek utama dalam kehidupan, serta menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan, martabat manusia, kebebasan, dan hak asasi manusia. Humanisme menghargai nilai-nilai yang terkait dengan keberadaan manusia, seperti rasa empati, kasih sayang, kreativitas, rasionalitas, dan moralitas.
Dimensi kemanusiaan dalam puisi merujuk pada tema atau topik yang berhubungan dengan manusia, pengalaman manusia, dan kondisi manusia. Ini mencakup aspek-aspek seperti emosi, hubungan interpersonal, penderitaan, kegembiraan, kehilangan, kebahagiaan, pengalaman hidup, dan banyak lagi.
Humanisme sebagai universalitas
Dalam konteks hari ini, puisi merupakan bentuk seni berbahasa yang paling universal yang menempatkan kemanusiaan sebagai universalitas. Puisi mampu mengungkapkan nilai-nilai, tema, dan makna yang dapat diresepsi oleh banyak orang dari berbagai latar belakang dan budaya, serta membantu menjalin pemahaman dan koneksi antar-manusia. Demikian halnya dengan puisi karya Bayu Suta Wardianto yang terhimpun dalam buku kumpulan sajak Pada Suatu Musim.
Dalam sajak-sajaknya, Bayu banyak mengeksplorasi dan mengekspresikan dimensi dan pengalaman manusia yang mendasar. Sajak-sajaknya digunakan untuk merayakan kehidupan, mengungkapkan perasaan, dan menggambarkan pengalaman yang sama-sama dihadapi oleh semua orang. Setidaknya, Bayu menyatakan ini dengan menggunakan sekitar 30 kata ‘manusia’ baik dalam bentuk frase sebagai ungkapan pada judul maupun dalam bagaian tubuh sajak. Ada dua sajak yang secara tegas menggunakan kata ‘manusia’ pada tajuknya, yaitu sajak ‘Menimpali Suara Manusia’ dan ‘Aku Masih Manusia’.
Pada sajak ‘Agama’, penyair secara vulgar mengungkapkan sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan sekaligus membagikan perasaan personal menjadi perasaaan komunal pada pembaca.
Agama
Islam di dalam diriku mengelak
kepada segala bentuk pengkultusan yang ada
namun, kemanusiaan dalam jiwaku memberontak
tatkala enam orang insan ditembak mati di jalan tol
dengan dalih keamanan negara tanpa bukti yang nyata
makin hari orang-orang itu
semakin gila dan seolah sangat berkuasa
Izrail, Yama, atau siapa-siapa
yang ditugaskan Tuhan untuk mencabut nyawa
mereka tikung di perempatan jalan
demi mengakhiri hidup sesama manusia
Sleman, Desember 2020
Dalam puisi, dimensi kemanusiaan sering digambarkan dengan penggunaan bahasa yang sangat figuratif dan imajinatif. Hal ini memberikan kesempatan untuk menyampaikan makna secara lebih mendalam dan kompleks dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari atau pada bentuk prosa. Meski demikian, acap kali seorang penyair tergelincir atau dengan sadar menggunakan bahasa yang denotatif.
Menimpali Suara Manusia
suara raungan kutemukan menimpali suara manusia
suara itu dengan rakus memangsa bentala
jalanan, hutan, atau kota
punya penderitaan yang sama
…
di Jogja, roda-roda mulai beringas
merampas hak para pejalan
di Tangerang, garis putih mulai pudar tergerus waktu
di Serang, trotoar semakin lebar tapi sepi pejalan
di Kota, orang-orang bergerak tak tentu arah
di Desa, orang-orang sudah lelah beramah tamah
di mana-mana, manusia semakin sulit
menemukan manusia
Cikupa, Desember 2020
Puisi di atas dibuka dengan ungkapan /suara raungan kutemukan menimpali suara manusia/. Baris pertama ini merupakan pernyataan denotatif yang dibuat dengan kesadaran dan kesengajaan, lantaran sajak ini memang hendak mempercakapkan ‘suara-suara’ yang saling bertengkar dengan suara manusia. Penyair menutup sajak ini dengan sebuah ungkapan yang cukup indah yaitu; /di mana-mana, manusia semakin sulit/ menemukan manusia//. Kata manusia yang terakhir ini sesungguhnya dimaksudkan untuk menyebut ‘kemanusiaan’ sebagai karakter dasar atau hakikat yang semestinya melekat pada diri manusia.
***
Dimensi kemanusiaan dalam buku kumpulan sajak ini merujuk pada tema-tema atau pesan-pesan yang menyoroti sifat-sifat manusia, kondisi manusia, dan hubungan manusia dengan alam, kebudayaan, dan lingkungannya. Dimensi ini menekankan pada aspek-aspek universal dari kehidupan manusia yang dapat dikenali oleh semua orang, tanpa memandang latar belakang, agama, atau budaya. Ini tampak pada bagian pertama dari buku ini.
Pada bagian kedua dan tiga buku ini, sajak-sajak yang ditulis banyak mengeksplorasi dimensi kemanusiaan dengan berbicara tentang kegembiraan, kesedihan, harapan, rasa kehilangan, penderitaan, dan konflik yang dialami manusia. Sajak-sajak ini juga menggambarkan bagaimana manusia berjuang untuk menemukan makna hidupnya, bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana mereka berusaha untuk memahami dunia di sekitarnya.
Sajak-sajak yang ditulis Bayu sesungguhnya banyak memperlihatkan bahwa manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan alam, seperti dalam sajak yang mengungkap keindahan alam, hubungan manusia dengan lingkungan hidup, atau tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi manusia. Selain itu, melalui sajak-sajaknya, Bayu juga berupaya menunjukkan hubungan manusia dengan kebudayaan, menyoroti aspek-aspek kebudayaan, tradisi, dan adat istiadat.
Secara keseluruhan, sajak-sajaknya merupakan bentuk pernyataan sekaligus peneguhan jalan penyair dalam menempuh dan mengukuhkan kemanusiaan. Secara figuratif, Bayu menjadikan sajak sebagai jalan keluar untuk masuk kembali dalam dimensi yang paling hakiki dari manusia yaitu kemanusiaan. Atau dengan ungkapan yang relatif ringkas, penyair berupaya menjadikan sajak-sajaknya sebagai tapak-tapak atau jejak-jejak humanisme yang universal. Waaluhu’alam Bishawab.
***
[1] Esai ini disampaikan dalam forum bedah buku antologi puisi bertajuk Pada Suatu Musim karya Bayu Suta Wardianto, yang digelar oleh Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) UIN Saizu Purwokerto, Rabu, 1 Maret 2023 di Hall Perpustakaan UIN Saizu.
[2] Teguh Trianton adalah peneliti sastra dan budaya di LK Nura, mengajar di Program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia UNPRI Medan dan menjadi dosen tamu di UIN Saizu Purwokerto.