Kekuatan Bahasa dalam Membatasi Ekspresi Perempuan: Analisis Kata “Lenjeh” dalam Dialek Banyumasan

Bahasa adalah sarana komunikasi yang memiliki daya luar biasa dalam membentuk persepsi sosial, mencerminkan identitas budaya, serta menentukan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Wood (2009), nilai-nilai dan pandangan budaya, termasuk mengenai gender, tercermin dan diperkuat melalui bahasa dalam konstruksi sosial. Di Indonesia, bahasa terbagi menjadi berbagai dialek yang mewakili identitas kultural suatu daerah, dengan setiap dialek memegang peranan penting dalam interaksi sosial sehari-hari. Bahasa daerah tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga berfungsi sebagai penjaga dan penegak nilai-nilai sosial yang berlaku (Hutagaol et all., 2021).

Salah satu dialek yang terkenal di Indonesia adalah dialek Banyumasan, yang lebih dikenal dengan sebutan “ngapak”. Dialek ini memiliki kosakata, pengucapan, dan struktur kalimat yang khas, namun seperti dialek lainnya, bahasa yang digunakan dalam masyarakat Banyumasan bisa berfungsi untuk memperkuat atau bahkan mengekang norma-norma sosial tertentu. Salah satu contoh ungkapan yang menarik adalah penggunaan kata “lenjeh”, yang dalam budaya Banyumasan berperan dalam mengatur perilaku dan ekspresi gender, khususnya terkait perempuan.

Makna dan Konteks Kata “Lenjeh” dalam Dialek Banyumasan

Kata “lenjeh” dalam dialek Banyumasan seringkali dikaitkan dengan cara berbicara perempuan yang dianggap merayu atau menarik perhatian lawan jenis, terutama laki-laki. Menurut Listiorini dan Vidiadari (2024), penggunaan kata “lenjeh” menunjukkan tekanan terhadap perempuan yang berbicara dengan nada yang dianggap berlebihan atau terlalu manja, yang seringkali dianggap sebagai tanda perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial tentang perempuan yang baik. Dalam pandangan masyarakat, perempuan yang berbicara dengan cara ini dianggap tidak sesuai dengan citra “perempuan baik-baik”, karena cara berbicara yang “genit” dianggap merendahkan martabat mereka.

Sebaliknya, pada laki-laki, kata “lenjeh” digunakan untuk mengatur cara berbicara yang harus mencerminkan karakter maskulin. Laki-laki yang berbicara dengan suara yang lembut, tidak tegas, atau terlalu feminin akan diberi label “lenjeh”. Dengan demikian, kata ini tidak hanya berfungsi untuk menekan ekspresi perempuan, tetapi juga memperkuat norma-norma maskulinitas dalam masyarakat Banyumasan. Hal ini menciptakan tekanan sosial untuk laki-laki agar berbicara dengan cara yang dianggap maskulin dan tegas, sementara perempuan ditekan untuk berbicara sesuai dengan ekspektasi tradisional yang menekankan kelembutan dan kesopanan.

Bahasa sebagai Alat Pengendali Gender

Penggunaan kata “lenjeh” menunjukkan bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat pengendali perilaku sosial, terutama terkait gender. Bahasa lokal seperti “lenjeh” tidak hanya mengatur cara berbicara, tetapi juga meresap ke dalam aspek non-verbal seperti gerak tubuh dan ekspresi fisik. Gestur atau gerakan tubuh juga menjadi cara untuk menentukan apakah seseorang, terutama perempuan, dapat dianggap “genit” atau tidak. Dalam pandangan masyarakat Banyumasan, perempuan yang berperilaku “genit” dengan berbicara manja atau menunjukkan gerak tubuh yang mengundang perhatian dianggap melanggar norma sosial dan sering kali dicap sebagai perempuan yang tidak bermoral.

Berdasarkan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah (FGD) yang dilakukan dalam penelitian Listiorini dan Vidiadari (2024) dapat disimpulkan bahwa kata “lenjeh” berfungsi untuk mengatur tubuh perempuan dan laki-laki dalam hal berbicara, gerakan tubuh, serta cara berpakaian dan berdandan. Hal ini mengarah pada pengekangan kebebasan perempuan untuk mengekspresikan diri secara otentik, karena mereka harus selalu mengendalikan cara berbicara dan ekspresi tubuh mereka agar tidak dicap “lenjeh.”.

Pengaruh “Lenjeh” dalam Menekan Ekspresi Kebebasan Perempuan

Penggunaan kata “lenjeh” dalam dialek Banyumasan, dengan demikian, bukan hanya menjadi alat untuk menggambarkan cara berbicara, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menekan ekspresi dan kebebasan perempuan. Dalam hal ini, bahasa berperan sebagai pengontrol perilaku yang membatasi ruang gerak perempuan untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas. Pada tingkat sosial, perempuan yang dianggap “lenjeh” sering kali dilihat sebagai sosok yang tidak menghormati batasan-batasan yang ditetapkan dalam masyarakat, seperti kesopanan, kewibawaan, dan keseriusan dalam berbicara. Hal ini menciptakan kesenjangan besar antara ekspektasi sosial terhadap perempuan dan kebebasan mereka dalam mengekspresikan diri.

Dalam banyak kasus, perempuan yang dinilai menggunakan bahasa atau ekspresi yang lebih ekspresif ini sering kali dipandang sebagai “tidak serius” atau bahkan “tidak layak” dalam konteks profesional atau sosial. Sebagai contoh, seorang perempuan yang berbicara dengan nada manja atau penuh perhatian di ruang publik, seperti dalam rapat kerja atau acara formal, mungkin akan lebih cepat dicap sebagai tidak kompeten atau tidak profesional, meskipun kualitas kinerjanya tidak ada hubungannya dengan cara berbicaranya. Hal ini menuntut mereka untuk menahan diri, berbicara dengan penuh kehati-hatian, serta menjaga suara dan gerak tubuh agar tetap berada dalam batas yang dianggap pantas.

Dampak Sosial dan Kultural Penggunaan Kata “Lenjeh” dalam Dialek Banyumasan

Penggunaan kata “lenjeh” dalam dialek Banyumasan tidak hanya berdampak pada individu yang dihadapkan dengan label tersebut, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas terhadap struktur sosial dan budaya masyarakat Banyumasan

Penggunaan kata “lenjeh” memperkuat pemahaman tradisional mengenai peran gender dalam masyarakat. Dalam konteks ini, perempuan diharapkan untuk berbicara dengan lembut dan menjaga perilaku mereka agar tidak menimbulkan kesan yang dianggap berlebihan atau “genit.” Sementara itu, laki-laki diharapkan untuk berbicara dengan nada yang tegas dan maskulin. Hal ini memperkuat pandangan bahwa laki-laki dan perempuan harus berperilaku sesuai dengan norma-norma gender yang sudah ditentukan oleh masyarakat.

Penggunaan kata “lenjeh” juga dapat berfungsi untuk menegakkan sistem patriarki dalam masyarakat Banyumasan. Dengan mengontrol cara berbicara perempuan dan laki-laki melalui label “lenjeh,” masyarakat memperkuat pandangan bahwa perempuan harus tunduk pada peran tradisional mereka sebagai sosok yang lembut, pasif, dan terkontrol, sementara laki-laki diharapkan untuk menampilkan perilaku yang kuat, tegas, dan dominan.

Di ruang publik, norma-norma yang dikontrol oleh penggunaan kata “lenjeh” mengarah pada pembatasan kebebasan ekspresi, terutama bagi perempuan. Perempuan mungkin merasa bahwa mereka harus selalu menjaga cara berbicara, gerak tubuh, dan ekspresi mereka agar tidak dianggap “lenjeh” dan melanggar norma kesopanan. Dampak jangka panjang dari penggunaan kata “lenjeh” dalam masyarakat Banyumasan dapat mengarah pada perubahan cara pandang terhadap perempuan dan laki-laki. Pada satu sisi, perempuan yang terlalu mengekspresikan diri bisa dianggap melanggar norma, sementara laki-laki yang tidak menampilkan maskulinitas yang tegas dapat dianggap kurang berharga.

 

Referensi

Listiorini, D., & Vidiadari, I. S. (2024). Lenjeh, Gittal, Kanyi dll: Kata-Kata Lokal untuk Mengontrol dan Menekan Ekspresi Tubuh Perempuan. Jurnal Komunikasi, 18(2), 169–192. https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol18.iss2.art4

Al Farobi, M., Aminullah, M. A., & Mulyanti, T. (2022). Tabu Ungkapan dalam Budaya Bahasa Jawa Ngapak Banyumasan. Risenologi, 7(2), 80–85. https://doi.org/10.47028/j.risenologi.2022.72.310

Wood, J. T. (2009). Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture. . Wadsworth.

Wahyuni, S., Supratno, H., & Kamidjan, K. (2019). Kekerasan Simbolik dalam Novel Indonesia. RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 12(2), 128. https://doi.org/10.26858/retorika.v12i2.8833

 

Tentang Penulis

Faradian Yusi Istiqomah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto, Tahun 2024.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *