MAKNA ASUPAKAN KOSAKATA DALAM MEMBACAKAN BUKU
Dr. Heru Kurniawan, M. A.
Peneliti LK Nura di Bidang Sastra Anak
Coba perhatikan!
Membacakan buku itu ‘kan berarti melafalkan koskata yang tertulis dalam buku dengan lantang sehingga anak mendengarkan, yang disertai dengan memperlihatkan gambar dan tulisannya. Apa istimewanya dengan kita langsung bercakap-cakap dengan anak. Atau, anak langsung menonton tayangan televisi saja, ‘kan langsung jelas pelafalan kosakatanya, dan anak juga bisa langsung melihat gambarnya.
Apa istimewanya dengan membacakan buku?
Ya, benar sekali. Antara bercakap-cakap, membacakan buku, dan menonton televisi itu sama. Sama-sama memberikan asupan kosakata dan visual pada anak. Dalam percakapan kosakata dikatakan langsung, sedangkan visualnya melalui ekspresi wajah mitra bercakap; menonton televisi mendengarkan kosakata yang diucapkan dan melihat tayangan gambarnya; dan membacakan buku juga sama, mendengarkan kosakata yang dibacakan dan melihat tulisan dan gambar yang dicetak buku.
Semua aktivitas ini sama: menggunakan indra pendengaran untuk menyerap kosakata dan menggunakan indra penglihatan untuk menonton ekspresi dan visual.
Namun, ada yang perlu kita telisik di sini.
Hasil penelitian yang diterbitkan dengan judul Meaningful Diference in the Every Experience of Young American Children menemukan bahwa asupan kosakata percakapan anak dari keluarga profesional (atas) sebanyak 45 juta kata; anak dari keluarga kelas pekerja (menengah) 26 juta kata; dan anak dari keluarga miskin (bawah) 13 juta kata. Ini artinya kesenjangan ekonomi menyebabkan kesenjangan asupan kosakata anak dari keluarganya. Semakin rendah tingkat ekonomi keluarga semakin jarang orang tua membangun percakapan dengan anaknya. Ini karena orang tua yang banyak habiskan waktu untuk bekerja.
Bagaimana dengan membacakan buku? Tentunya tidak ada kesenjangan. Selama buku yang dibacakan sama dan durasi waktunya sama, maka asupan kosakatanya sama. Persoalannya hanya ada pada bukunya. Keluarga menengah ke bawah punya persoalan dalam mendapatkan buku, sedangkan keluarga atas bisa dengan mudah membeli buku. Di sinilah, perpustakaan hadir menyediakan kebutuhan buku keluarga. Dan, di setiap daerah dan sekolah sudah menyediakan buku. Ini artinya, dalam konteks ekonomi, membacakan buku relatif bisa dilakukan oleh siapapun dengan asupan kosakata yang sama.
Bagaimana dengan menonton televisi. Apa jadinya jika anak dibiarkan menonton televisi. Pengaruh negatif dengan kosa kata negatif bisa masuk dalam diri anak. Tidak semua tayangan televisi untuk anak. Jika anak menonton tayangan televisi yang salah, maka asupan kosakata dan visualnya pun salah. Tayangan televisi komunikasinya hanya searah. Tidak ada hubungan yang intim dan bermakna. Tidak ada kasih sayang yang tercurah dari orang tua. Apapun alasannya, asupan kosakata dari televisi itu yang paling buruk jika dibanding dengan asupan kosakata dari percapakan dan membacakan buku.
Dan jika kita bandingkan, kualitas dan varietas kosakata dalam buku lebih baik daripada percakapan dan skrip televisi. Kebayanyan percakapan berlangsung dalam kalimat yang sederhana dan datar. Dalam televisi tidak ada ruang komunikasi dan diskusi langsung yang melibatkan anak. Kosa kata dalam percakapan masih sederhana karena kata-kata yang digunakan dalam bercakapan adalah kata-kata yang sudah sering didengar dalam kehidupan sehar-hari. Sedangkan, datar karena dalam bercakapan tidak ada intonasi yang khas. Ini semua tidak berlaku untuk membacakan buku yang kosakatanya lebih bermakna dan pengucapannya pun penuh intonasi.
Ini bisa tampak dari hasil riset berikut ini. Orang dewasa secara rata-rata hanya menggunakan sembilan kata yang jarang per seribu kata ketika sedang berbicara dengan anak usia dini. Jika dibandingkan dengan orang dewasa yang membacakan buku pada anak usia dini, maka rerata asupan kosakata baru dalam per seribu katanya tiga kali lipat, hampir tiga puluh kata dalam per seribu kata. Hal ini menunjukkan bahwa asupan kosakata dengan membacakan buku itu lebih baik dengan asupan kosakata percakapan apalagi dalam tayangan televisi.
Dalam membacakan buku anak akan mendapatkan asupan kosakata yang baik dan pemaknaan atas informasi yang baik pula. Ditambah lagi hubungan komunikasi yang intim antara orang tua dan anak yang bermakna. Dar sinilah, kita tahu bahwa membacakan buku jauh lebih baik dibandingkan dengan percakapan sehari-hari dan menonton tayangan televisi atau film.
Tidak heran jika membacakan buku setiap hari memberikan peluang sukses dalam belajar pada anak lebih baik daripada bercakap-cakap dan menonton televisi.
Sumber Bacaan:
Jim Trelease. 2008. Read-Aloud Handbook. Bandung: Hikmah.
Maria Montessori. 2020. Absorbent Mind: Pikiran yang Mudah Menyerap. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mem Fox. 2022. Reading Magic. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Sarah Mackenzie. 2022. The Read-Aloud Familiy. Yogyakarta: Bentang Pustaka.